Dari Target Market ke Power Player: Transformasi Gen Z 2025

Last updated on September 15

Dari “Target” Jadi “Boss”

Pernah nggak sih kamu ngerasa kalau generasi kita sering cuma dianggap “pasar doang”? Dulu, Gen Z sering diposisikan sebagai target market—yaudah, pokoknya dikasih produk keren, harga miring, dibumbui iklan estetik, terus beli deh. Tapi sekarang, cerita udah beda jauh. Tahun 2025, Gen Z nggak lagi sekadar “dikejar brand,” tapi udah jadi power player yang punya pengaruh gede dalam keputusan pembelian, bahkan di dunia kerja.

Bayangin, anak-anak muda yang dulunya sibuk bikin TikTok dan scroll IG sekarang udah jadi decision maker di perusahaan. Mereka bukan cuma konsumen, tapi juga orang yang nentuin strategi bisnis, milih partner brand, sampai bikin tren global.

“Gen Z itu bukan cuma audience, mereka trendsetter yang ngatur panggung.”

Nah, di artikel ini kita bakal ngebongkar gimana sih sebenarnya transformasi Gen Z dari target market biasa sampai jadi pemain utama di tahun 2025. Yuk, kita pelan-pelan masuk ke pembahasan biar makin jelas.


1. Gen Z Mulai Masuk Keputusan Konsumen & Kerja

Kalau ngomongin generasi Z, kita lagi bahas kelompok kelahiran sekitar 1997–2012. Tahun 2025 ini, usia mereka udah ada di rentang 13 sampai 28 tahun. Artinya, banyak yang udah lulus kuliah, kerja, bahkan punya posisi strategis di perusahaan.

Menurut data dari GWI, sekitar 19% Gen Z udah jadi pengambil keputusan di tempat kerja. Bayangin aja, yang dulu sering dicap “kids zaman now” sekarang justru ikut nentuin vendor, tools, sampai campaign marketing apa yang bakal dipakai perusahaan.

Selain itu, sebagai konsumen, mereka makin berani buat bikin pilihan yang beda dari generasi sebelumnya. Nggak semua iklan langsung dipercaya. Mereka lebih ngandelin authenticity dan brand value. Jadi kalau ada produk yang nggak sesuai sama nilai mereka, ya ditinggal gitu aja.

“Gen Z nggak cuma beli produk, mereka beli makna di balik produk.”


2. Autentisitas Jadi Mata Uang Utama

Buat Gen Z, authenticity itu segalanya. Mereka nggak peduli brand kamu fancy atau nggak, selama asli, jujur, dan transparan, mereka bakal respect.

Studi NielsenIQ bilang kalau Gen Z sangat termotivasi oleh tiga hal: authenticity, belonging, dan self-esteem. Artinya, mereka lebih percaya sama brand yang komunikasinya real, nggak over-selling, dan punya identitas jelas.

Contoh gampangnya, kalau sebuah brand fashion ngaku “ramah lingkungan” tapi ternyata masih pakai bahan nggak sustainable, Gen Z bakal jadi yang pertama kali manggungin di Twitter (atau Threads).

Makanya, brand sekarang kudu hati-hati: jangan asal jual produk, tapi pastikan narasi yang dibangun memang nyata.

“Autentik itu nggak bisa dipalsuin. Sekali ketahuan fake, trust hilang.”


3. Digital-First: Sosial Media Jadi Panggung Utama

Kalau generasi sebelumnya mungkin lebih sering nonton TV atau baca koran, Gen Z jelas beda. Mereka digital-first dan sosmed udah kayak rumah kedua.

Menurut Amra & Elma Agency, sekitar 90% Gen Z bilang konten di media sosial memengaruhi keputusan belanja mereka. Jadi kalau ada produk viral di TikTok, besar kemungkinan mereka bakal coba. Apalagi kalau yang share bukan selebriti mainstream, tapi micro-influencers atau bahkan teman mereka sendiri.

Makanya, strategi marketing yang sukses di 2025 pasti harus mengoptimalkan konten di platform seperti TikTok, Instagram Reels, atau bahkan platform baru anti-mainstream.

Konten yang interaktif, relatable, dan visual lebih gampang nyangkut di hati Gen Z. Mereka nggak suka iklan yang hard-selling. Yang mereka cari adalah cerita yang real.

“Gen Z lebih percaya testimoni random netizen daripada iklan TV mahal.”

4. Konten Singkat & Interaktif Jadi Favorit

Kamu sadar nggak sih, sekarang hampir semua orang males baca teks panjang? Nah, ini makin relevan sama Gen Z yang punya rentang perhatian lebih pendek. Mereka lebih suka konten yang langsung ke intinya, ringkas, interaktif, dan gampang di-share.

Makanya, video pendek, polling interaktif, kuis ringan, dan live interaction makin booming. Platform kayak TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels udah jadi default-nya mereka buat konsumsi informasi.

Bahkan buat belajar atau cari info serius pun, Gen Z lebih milih nonton video 2 menit ketimbang baca artikel panjang. (Ironis ya, kita lagi nulis artikel panjang banget ini, haha. Tapi tenang, buat yang butuh analisis mendalam kayak gini, Gen Z juga appreciate kok.)

“Bikin konten jangan ribet. Simple, fun, dan to the point itu kuncinya.”

5. Belanja Berdasarkan Nilai & Etika

Hal lain yang bikin Gen Z beda adalah cara mereka belanja. Mereka bukan tipe yang gampang tergoda diskon gede kalau brand-nya nggak sesuai nilai mereka.

Survei Cropink 2025 nunjukin kalau Gen Z rela bayar lebih buat produk dari brand yang etis, transparan, dan peduli lingkungan. Jadi, jangan heran kalau ada brand kecil dengan value jelas bisa menang lawan brand besar yang cuma ngandelin nama.

Bagi mereka, setiap pembelian adalah bentuk “vote” buat mendukung nilai tertentu. Jadi kalau brand nggak peka sama isu sosial atau lingkungan, siap-siap aja ditinggalin.

“Gen Z beli barang bukan cuma karena harga, tapi karena makna.”

6. Gen Z Jadi Penggerak Tren Global

Kalau dulu tren banyak ditentuin oleh selebriti atau brand gede, sekarang Gen Z lah yang jadi mesin penggerak tren. Dari musik, fashion, lifestyle, sampai teknologi, mereka yang bikin sesuatu viral.

Contohnya, tren thrift shop, eco-friendly fashion, sampai fenomena FYP TikTok. Semua itu lahir dari pola konsumsi dan kreativitas Gen Z. Brand-brand besar akhirnya “ikut arus” buat menyesuaikan dengan preferensi mereka.

Bisa dibilang, kalau Gen Z nggak notice, produk kamu nggak akan jadi hype. Jadi brand harus tahu cara main di ekosistem mereka.

“Kalau Gen Z bilang keren, dunia ikut setuju.”

7. Ekspektasi UX & Teknologi yang Lebih Tinggi

Selain soal konten dan nilai, Gen Z juga sangat demanding soal pengalaman digital. Mereka terbiasa dengan aplikasi cepat, interface clean, dan proses seamless. Jadi kalau ada website yang lemot, navigasi ribet, atau desainnya jadul, mereka bakal langsung skip.

Menurut eMarketer, Gen Z mengharapkan website mobile-friendly, cepat, dan user-friendly. Jadi, SEO sekarang nggak cuma soal keyword, tapi juga soal UX.

Brand yang nggak bisa nyediain pengalaman digital yang mulus bakal susah dapet hati Gen Z.

“UX jelek itu dealbreaker buat Gen Z. Simpel aja: kalau ribet, mereka cabut.”

8. Implikasi Buat Brand & Jasa Digital Marketing

Nah, setelah bahas panjang lebar, pertanyaannya: apa yang harus brand lakukan?

  • Pertama, invest di content marketing yang autentik dan interaktif.

  • Kedua, pastikan semua campaign digital sesuai dengan nilai yang dipegang Gen Z.

  • Ketiga, jangan cuma fokus ke iklan, tapi juga SEO, UX, dan desain website biar user journey mereka lebih nyaman.

  • Terakhir, kolaborasi sama jasa SEO dan digital agency jadi penting banget, karena strategi marketing ke depan harus holistik, bukan sekadar lempar konten.


Penutup: Gen Z, The Real Game Changer

Transformasi Gen Z dari target market jadi power player udah jelas banget di depan mata. Mereka bukan cuma konsumen pasif, tapi udah jadi decision maker, influencer, sekaligus cultural driver.

Kalau brand masih nganggep Gen Z sebatas pasar, siap-siap aja ketinggalan. Karena sekarang, mereka udah ada di kursi depan, ikut nyetir arah bisnis global.

“Gen Z bukan masa depan. Mereka udah jadi masa kini.”

Recent Post

Armand Surya Written by:

A super saiyan in disguise. Secretly study humanity as part of his counter intelligence work at Dipstrategy