Tantangan Bagi Brand dan Agency: Dunia Baru Tanpa Cookies

Last updated on October 23

Hai, marketers dan pemilik brand! Udah pada denger kan kalau **cookies**—yang dulu selalu jadi sahabat digital marketer buat ngumpulin data pengguna—pelan-pelan bakal menghilang? Yup, dunia marketing digital bakal berubah banget gara-gara peraturan privasi yang makin ketat dan keputusan platform besar seperti Google buat berhenti mendukung **third-party cookies**.

Nah, yang jadi pertanyaan sekarang, gimana brand dan agency bisa **beradaptasi** di era cookie-less marketing ini? Apa aja tantangan yang harus dihadapi, dan gimana caranya kita bisa tetap ngumpulin data yang relevan tanpa bikin konsumen merasa privasinya terancam? Artikel ini bakal bahas semua tantangan seru (dan kadang bikin pusing) yang dihadapi para marketer dan agency di dunia baru tanpa cookies ini.

Apa Itu Cookie-Less Marketing?

Oke, sebelum kita masuk ke tantangan yang lebih dalam, yuk kita **flashback** sedikit soal cookies. Buat yang belum tahu, **cookies** adalah file kecil yang disimpan di perangkat pengguna saat mereka mengunjungi sebuah website. Cookies ini dipakai buat ngumpulin informasi tentang perilaku online pengguna, yang kemudian bisa dipakai untuk bikin iklan yang lebih personal, tracking user di beberapa website, dan ngasih insight penting buat marketer.

Nah, **third-party cookies** adalah jenis cookies yang dipasang oleh pihak ketiga (biasanya pengiklan) di website yang bukan milik mereka. Ini yang selama ini jadi senjata ampuh buat **targeting** iklan dan **retargeting**. Tapi sekarang, karena masalah privasi, third-party cookies bakal pelan-pelan dihapus, dan kita masuk ke dunia marketing yang lebih menghargai privasi pengguna.

**Cookie-less marketing** adalah strategi pemasaran yang harus diterapkan di era tanpa third-party cookies. Jadi, tantangan besarnya adalah: gimana caranya tetap bikin iklan yang efektif tanpa mengandalkan data dari third-party cookies?

Tantangan Bagi Brand dan Agency di Era Cookie-Less

1. Pengumpulan Data Pengguna yang Lebih Sulit

Tantangan terbesar yang langsung terasa adalah soal **pengumpulan data pengguna**. Sebelumnya, third-party cookies memungkinkan brand dan agency buat tracking perilaku konsumen secara otomatis, misalnya dari website yang dikunjungi, produk yang dilihat, sampai tindakan yang diambil di situs-situs lain. Tanpa cookies ini, tracking jadi jauh lebih sulit.

Brand dan agency harus menemukan cara lain buat ngumpulin data pengguna yang tetap bisa ngasih insight berharga, tapi tanpa melanggar privasi mereka. Di sinilah **first-party data** (data yang dikumpulkan langsung dari pengguna di platform brand sendiri) jadi semakin penting. Masalahnya, nggak semua brand siap atau punya infrastruktur yang kuat buat ngumpulin dan mengelola first-party data dengan baik.

2. Menjaga Personalisasi Tanpa Data Detail

Salah satu kekuatan cookies adalah kemampuannya buat ngasih **iklan yang super personal**. Bayangin, kamu abis ngunjungi toko online buat liat sepatu, dan beberapa menit kemudian, iklan sepatu yang sama muncul di Facebook atau Instagram. Nah, itu salah satu contoh retargeting berbasis cookies.

Tanpa third-party cookies, retargeting kayak gini jadi lebih susah dilakukan. **Personalisasi iklan** bakal terancam hilang, dan brand harus cari cara baru buat tetap relevan di mata konsumen. Solusinya? Mengandalkan data dari interaksi langsung dengan pengguna, misalnya lewat email subscription, akun media sosial, atau aplikasi mobile.

3. Penurunan Akurasi dalam Measurement

Tracking campaign jadi jauh lebih menantang di dunia tanpa cookies. Dulu, dengan cookies, kita bisa tahu siapa yang melihat iklan, siapa yang nge-klik, dan siapa yang akhirnya melakukan pembelian. Semua itu bisa diukur dengan akurat dan memberikan feedback yang berguna buat mengoptimalkan campaign selanjutnya.

Tapi sekarang? **Akurasi tracking** turun drastis. Brand dan agency harus mengandalkan cara-cara lain buat ngukur performa iklan. Misalnya, pakai **probabilistic attribution**, di mana kita memperkirakan (tapi nggak pasti) bahwa seseorang melakukan tindakan tertentu setelah melihat iklan. Meski begitu, metode ini jelas nggak seakurat cookies, dan bikin optimasi campaign jadi lebih rumit.

4. Perubahan Landscape Iklan Digital

Dengan third-party cookies yang hilang, **platform iklan digital** kayak Google Ads dan Facebook Ads juga harus mengubah cara mereka bekerja. Mereka mulai mengembangkan solusi **in-house data**, seperti **Facebook Conversion API** atau **Google’s Privacy Sandbox**, yang tujuannya buat ngasih insight ke marketer tanpa harus melanggar privasi pengguna.

Bagi brand dan agency, ini berarti harus cepat belajar dan adaptasi dengan platform baru ini. Iklan digital jadi lebih kompleks, dan kemampuan buat memahami dan memanfaatkan teknologi baru ini bakal jadi kunci kesuksesan di era cookie-less.

5. Perluasan Penggunaan First-Party Data

Solusi paling logis di tengah hilangnya third-party cookies adalah meningkatkan penggunaan **first-party data**. Tapi, nggak semudah itu, Sob! Banyak brand yang masih belum punya ekosistem yang kuat buat ngumpulin, menyimpan, dan mengolah data pengguna langsung. Selain itu, konsumen sekarang juga lebih hati-hati dalam ngasih data pribadi mereka.

Tantangan buat brand adalah gimana caranya bikin konsumen **percaya** buat ngasih data mereka secara sukarela. Di sinilah pentingnya membangun **hubungan yang baik** dengan konsumen, memberikan nilai lebih (misalnya lewat konten menarik atau program loyalitas), dan tentunya transparan soal bagaimana data mereka bakal digunakan.

Solusi di Tengah Tantangan Cookie-Less Marketing

Tapi jangan panik dulu! Meski ada banyak tantangan, selalu ada solusi buat menghadapinya. Beberapa langkah yang bisa diambil brand dan agency di era cookie-less marketing antara lain:

1. Fokus ke First-Party Data

Mulai dari sekarang, brand harus lebih aktif dalam ngumpulin **first-party data**. Ini bisa lewat formulir pendaftaran, survei, program loyalty, atau bahkan interaksi di media sosial. First-party data jauh lebih berharga karena didapat langsung dari pengguna yang memang tertarik dengan brand kamu.

2. Gunakan Contextual Targeting

Karena nggak bisa lagi mengandalkan third-party cookies, **contextual targeting** jadi solusi yang relevan. Ini berarti kamu menargetkan iklan berdasarkan **konten yang sedang dibaca atau dilihat** oleh pengguna, bukan berdasarkan data perilaku mereka di situs-situs lain. Misalnya, kalau pengguna lagi baca artikel tentang sepatu lari, maka iklan sepatu lari bakal muncul.

3. Investasi di Teknologi Data Management

Untuk bisa memaksimalkan first-party data, brand dan agency perlu investasi di **data management platforms (DMPs)** atau **customer data platforms (CDPs)**. Teknologi ini bakal bantu kamu ngumpulin, menganalisis, dan memanfaatkan data pengguna dengan cara yang lebih efisien dan terintegrasi.

4. Kolaborasi dengan Publisher

Banyak **publisher** sekarang menawarkan solusi berbasis data yang bisa membantu brand menargetkan iklan mereka tanpa menggunakan third-party cookies. Kolaborasi langsung dengan publisher bisa jadi strategi efektif buat tetap menjangkau audiens yang relevan.

Baca juga: “7 Strategy SEO untuk Website yang Baru diRevamp

Kesimpulan: Dunia Baru, Peluang Baru

Meski tantangan adaptasi cookie-less marketing cukup besar, ini juga membuka **peluang baru** bagi brand dan agency buat menciptakan strategi marketing yang lebih **transparan**, **berbasis data yang berkualitas**, dan tentunya lebih menghormati privasi pengguna. Kuncinya ada pada seberapa cepat kita bisa belajar dan beradaptasi dengan perubahan ini.

So, buat kamu yang terjun di dunia marketing digital, era cookie-less ini nggak perlu ditakuti. Justru, ini jadi kesempatan buat kita menciptakan cara-cara baru yang lebih kreatif dan inovatif untuk menjangkau konsumen. Selamat datang di dunia tanpa cookies!

Recent Post

Krisno Wisnuadi Written by:

A seasoned digital practitioner with more than 12 years of progressive experiences in the Creative and Digital industry, serving as Designer, Game Designer /Programmer, Web Analyst, Project Manager, Creative Development Manager, Head of Online Services, and Managing Director.